Anton A Setyawan-Artikel Manajemen Publik
MEMBANGUN POLRI YANG BERKUALITAS
Catatan Hari Bhayangkara ke-62
Anton A. Setyawan
Dosen Fak Ekonomi Univ Muhammadiyah Surakarta dan mahasiswa
S3 Manajemen UGM
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta 571002
Telp : 0271-730021 (home) dan 0271-717417 psw 211/204 (office)
e-mail : rmb_anton@yahoo.com atau anton_agus@ums.ac.id
S3 Manajemen UGM
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta 571002
Telp : 0271-730021 (home) dan 0271-717417 psw 211/204 (office)
e-mail : rmb_anton@yahoo.com atau anton_agus@ums.ac.id
Tanggal 1 Juli 2008 ini Kepolisian Republik Indonesia merayakan hari Bhayangkara yang ke-62. Umur Polri yang mencapai 62 tahun ibarat seseorang yang sudah mencapai tahap kedewasaan. Masyarakat mempunyai harapan yang besar pada lembaga ini. Isu profesionalisme Polri masih menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan.
Profesionalisme Polri terkait dengan proses rekrutmen dan penataan organisasi yang tepat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekrutmen anggota polisi baik pada level tamtama, bintara dan perwira dipenuhi dengan nuansa KKN. Berdasarkan survei kecil yang penulis lakukan pada calon bintara polisi maupun yang sudah berdinas selama 2 tahun, sebagian besar dari mereka harus mengeluarkan biaya antara Rp 50-70 juta untuk lolos seleksi. Adapun “harga” perwira baik dari Akpol maupun Perwira Karierdari Sarjana (PPSS) adalah sebesar Rp 100-150 juta. Namun demikian, proses ini sangat sulit untuk dideteksi, karena dua pihak saling diuntungkan. Selain dalam proses rekrutmen dalam proses promosi dan mutasi juga ada tarif tertentu yang harus dibayar anggota polisi yang berminat terhadap jabatan tertentu.
Beberapa waktu lalu Gubernur PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) mempublikasikan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa PTIK, yang juga adalah para perwira muda Polri, tentang korupsi di tubuh institusi penegak hukum ini. Penelitian ini membuktikan parahnya KKN dalam tubuh Polri. KKN yang dilakukan bukan menjadi ulah oknum melainkan sudah terlembagakan dengan rapi. Pola korupsi yang dilakukan adalah mulai dari rekrutmen, penyelesaian kasus, kenaikan pangkat anggota sampai dengan penempatan personil. Dalam penelitian itu disebutkan untuk menjadi Kapolda di daerah “basah’ atau di pulau Jawa, seorang perwira polisi dengan pangkat Inspektur Jenderal (dulu Mayor Jenderal Polisi) perlu dana sampai ratusan juta Rupiah. Pada level dibawahnya baik Kapolres atau Kapolwil dengan pangkat Ajun Komisaris Besar dan Komisaris Besar, dana yang dibutuhkan lebih sedikit yaitu puluhan juta Rupiah. Hal ini tentu sangat memprihatinkan.
Perencanaan SDM dan Pengawasan
Peran Polri pasca pemisahan dari TNI sebenarnya merupakan langkah awal bagi perbaikan institusi ini. Namun, “penyakit” Polri di masa lalu ternyata masih terbawa dalam struktur barunya saat ini. Penyakit itu adalah korupsi dan rendahnya kinerja Polri. Kita tentu tidak bisa berharap Kepolisian RI akan menjadi lembaga profesional apabila mereka menghadapi masalah serius dalam soal anggaran dan peralatan operasional. Dalam sebuah wawancara, mantan Kapolri Jenderal Da’i Bahchtiar mengeluhkan kualitas dan kuantitas peralatan Polri. Sebagai contoh peralatan standar revolver (pistol). Idealnya setiap anggota Polri apapun kesatuannya, harus mempunyai sebuah revolver. Namun, kenyataannya di Indonesia baru 65 persen anggota Polri yang mempunyai revolver. Itupunhanya pistol Colt kaliber 38 peninggalan Belanda. Kita bisa membayangkan andaikan aparat kepolisian dengan pistol kuno itu harus menghadapi perampok dengan pistol semi otomatis misalnya.
Pola penataan organisasi Polri seharusnya mengacu pada perencanaan sumber daya manusia, yang disusun oleh Polri dan pemerintah. Perencanaan SDM itu meliputi pola rekrutmen, berapa jumlah kebutuhan personel, pendidikan minimal dan bidang keahliannya. Sebagai contoh, pada dekade 50-an sampai dengan 70-an maka bintara dan tamtama Polri didominasi oleh Brigade Mobil (Brimob) karena pasukan elite ini diperlukan untuk mengatasi konflik bersenjata dan pemberontakan yang marak terjadi di masaitu. Namun saat ini, tantangan yang dihadap Polri berbeda sehingga lebih dibutuhkan polisi yang cerdas dan jujur untuk mengatasi masalah. Polri nampaknya cukup menyadari hal ini dengan mendidik lebih banyak Polri dengan tugas polisionil yang lebih bersifat sipil bersenjata daripada sebuah personel militer.
Anton A Setyawan-Artikel Manajemen Publik
kriminal harus menghadapi kasus kejahatan dunia maya, maka ia harus paham teknologi informasi. Selain itu pola pengendalian emosi seseorang biasanya semakin terjaga apabila pendidikannya semakin tinggi.
Perencanaan SDM yang dilakukan untuk kebijakan rekrutmen dan promosi-mutasi tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan pengawasan. Komisi kepolisian harus diberdayakan. Kenyataanya komisi independen ini tidak bekerja dengan baik, kantornya di Mabes Polri lebih banyak kosong tanpa aktifitas. Urgensi reformasi komisi kepolisian diperlukan demi perbaikan kualitas Polri. Komisi independen itu sebaiknya diisi oleh para ahli independen yang kompeten di bidang keamanan. Selain itu, komisi kepolisian juga diberi wewenang yang lebih luas sehingga tidak berakhir sebagai “macan ompong”.
Profesionalisme vs Kesejahteraan
teori motivasi dalam manajemen SDM menyarankan jika kepuasan anggota organisasi dipengaruhi oleh insentif (benefit) yang diperoleh anggota organisasi itu. Insentif ini bisa berwujud intrinsik atau ekstrinsik. Insentif intrinsik misalnya gaji atau bonus, sedangkan ekstrinsik misalnya kebanggaan terhadap korps atau idealisme. Kesejahteraan anggota Polri (terutama bintara dan tamtama) sangat memprihatinkan. Hal ini tentu harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat, selama masalah ini tidakterselesaikan sangat sulit melakukan perbaikan di dalam lembaga Polri.
Polri sebagai salah satu institusi hukum sangat diharapkan oleh masyarakat untuk mampu memperbaiki keadaan. Ada suatu kontradiksi yang terjadi ketika kita teringat akan ungkapan “polisi adalah lembaga yang paling dibenci tetapi juga paling dibutuhkan masyarakat”. Kita bisa melihat dalam kenyataan sehari-hari, setiap orang mengatakan hal yang negatif tentang polisi, namun ketika mereka menghadapi masalah, polisi adalah tempat untuk dimintai bantuan. Oleh karena itu, Polri diharapkan mampu meningkatkan kinerjanya, dengan melakukan perbaikan diawali dengan proses rekrutmen yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar