Hajriyanto Y Thohari: TNI Dan Polri Harus Dibuat Setara
Jakarta ( Berita ) – Sekretaris Fraksi Partai Golkar di MPR RI, Hajriyanto Y Thohari, di Jakarta, Kamis [27/09] malam, mengatakan, agar konflik antar aparat TNI versus Polri bisa diminimalisasi, ke depan harus ada penataan kembali peran TNI dan Polri sekaligus memosisikan keduanya secara setara.
“Saya mengusulkan untuk dilakukannya reformasi ulang beberapa undang-undang (UU) di bidang pertahanan dan keamanan (Hankam), seperti UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,” katanya kepada ANTARA, menanggapi bentrok fisik pasukan TNI versus anggota Polri di Ternate, Senin awal pekan ini.
“Adalah terlalu simplistis jika bentrok fisik dan senjata antara pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat dan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Ternate dan di tempat-tempat lain sebelumnya dikatakan sebagai semata-mata karena faktor kesejahteraan yang rendah,” ulas politisi muda yang sehari-harinya bertugas juga di Komisi I DPR RI.
Sebelumnya, kepada pers Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Yuwono Sudarsono meminta Panglima TNI, Djoko Suyanto memperhatikan kesejahteraan para prajurit tingkat bawah. “(Ini penting) untuk cegah konflik terus berulang,” kata Yuwono Sudarsono.
Bagi Hajriyanto Thohari dkk di Komisi I DPR RI, ada sesuatu yang lebih fundamental dari sekedar soal kesejahteraan. “Pasalnya, bukan hanya gaji TNI dan Polri yang belum mencukupi untuk hidup sejahtera. Gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan lainnya juga masih jauh dari ukuran kesejahteraan, tapi tokh tidak ada konflik fisik di antara mereka. Walhasil faktor kesejahteraan hanyalah sekunder dalam ketegangan antara TNI dan Polri!,” tegasnya.
TNI Merasa Tersingkirkan
Hajriyanto Thohari menjelaskan juga, hubungan TNI dan Polri pasca-pemisahan secara kelembagaan di antara keduanya memang mengandung ‘tension’ yang bersifat laten.
“Ini berakar dari sejak dipisahkannya keduanya secara kelembagaan, tetapi kemudian keduanya tidak diposisikan secara sejajar oleh undang-undang. Polri yang dulu merupakan “adik terkecil” dari TNI yang selalu dinomorduakan, setelah pemisahan menjadi lebih superior secara perundang-undangan,” ungkapnya.
Alasannya, pertama, Polri langsung di bawah Presiden RI , sementara TNI di bawah Menteri Pertahanan. Kedua, lanjutnya, dalam era reformasi, Polri dituntut untuk selalu hadir (’omnipresent’) di tengah-tengah dinamika masyarakat.
“Posisi ini membawa implikasi politik dan material terhadap Polri. Sementara TNI karena tugas pokoknya adalah di bidang pertahanan, menjadi kurang hadir (’omnipresent’) di tengah-tengah masyarakat, kecuali pada saat perang. Ini menjadikan peran TNI seakan-akan tersingkirkan oleh peran Polri,” kata Hajriyanto Thohari.
Kedua hal tersebut, menurutnya, mengakibatkan ada semacam ketidakrelaan, bahkan kecemburuan antara keduanya, yang pada gilirannya menimbulkan ketegangan (’tension’).
“Tidak mengherankan apabila kemudian ketegangan itu menjadi eksplosif dan mudah meledak setiap ada faktor picu di antara keduanya. Bahkan karena soal yang sangat sepele saja, telah cukup untuk mengakibatkan konflik fisik yang berskala masif antara TNI dan Polri,” jelasnya.
Dalam kaitan ini, Hajriyanto Thohari mengusulkan, harus ada penataan kembali peran TNI dan Polri sekaligus memosisikan keduanya secara setara.
“Seperti saya jelaskan di atas, saya mengusulkan untuk dilakukannya reformasi ulang beberapa undang-undang di bidang pertahanan dan keamanan, seperti UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,” tambahnya.
Di samping itu juga, demikian Hajriyanto Thohari, harus segera dibentuk UU tentang Perbantuan yang mengatur bagaimana TNI memberikan bantuan kepada tugas-tugas Polri. Sebaliknya, bagaimana Polri memberikan bantuan bagi tugas-tugas TNI.
“Reformasi perundang-undangan ini menjadi sangat penting dan ‘urgent’ jika kita ingin benar-benar mewujudkan hubungan TNI dan Polri yang sehat. Inilah langkah-langkah fundamental yang harus kita lakukan sekarang ini,” ujarnya.
Bangsa dan negara ini, kata Hajriyanto Thohari, membutuhkan TNI dan Polri yang solid dan kompak, tidak ada kecemburuan dalam bentuk apapun di antara keduanya.
Duduk Bersama
Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI, Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Kamis malam, meminta pimpinan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia agar duduk bersama, mencari akar masalah atas beragam konflik aparatnya di lapangan.
Ia mengatakan itu kepada ANTARA, menanggapi pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sisno A sebelumnya, yang mengungkapkan, ada pihak ketiga di balik ‘insiden Ternate’ itu.
Bentrok antara pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat versus anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Ternate itu telah menewaskan satu polisi dan empat cidera, ditambah dua tentara luka-luka.
“Ada pihak ketiga di balik itu,” tegas Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sisno A, kepada pers.
Namun, Tjahjo Kumolo menyatakan, terlepas sinyalemen Polri adanya pihak ketiga atau keempat, sebaiknya Polri dan TNI duduk bersama mencari akar masalah.
“Pertanyaan yang harus dijawab, kenapa bentrokan antar pasukan TNI versus anggota Polri sedemikian sering terjadi di lapangan. Jadi, jangan seawal mungkin dilempar adanya ‘kambing hitam’ dulu,” tandasnya.
Tjahjo Kumolo yang juga salah satu Ketua DPP PDI Perjuangan lanjut mengingatkan, agar pimpinan TNI dan Polri harusnya memperhatikan kondisi anak buahnya di lapangan.
Dalam kaitan itu, Tjahjo Kumolo mengingatkan pula tentang tindak pengawasan serta penegakkan disiplin di semua kesatuan (TNI maupun Polri), agar konflik atau bentrokan fisik serta senjata semakin dihindarkan. ( ant )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar